Kamis, 10 Juli 2025

5 TEMPAT YG DI BENCI ALLAH : KOTA-KOTA YANG DIHANCURKAN DENGAN CARA ANEH

Di balik megahnya peradaban dan kemilau sejarah manusia, tersembunyi kisah-kisah kelam tentang kota-kota yang dulunya berjaya... namun kini hanya tinggal puing. Lima nama terukir abadi, bukan karena kebesaran... Tapi karena kehancurannya yang menggetarkan langit dan bumi. Konon, kota-kota ini dikutuk langsung oleh Sang Pencipta... Menjadi pelajaran pedih tentang batas antara kesombongan manusia dan murka Ilahi. Dari balik abu, puing, dan reruntuhan—kisah mereka masih berbisik... Mengingatkan generasi yang datang, tentang harga mahal dari sebuah pembangkangan. Inilah jejak lima kota terkutuk, yang tak hanya hilang dari peta… Tapi juga dicatat dalam langit sebagai bukti kekuasaan Tuhan yang absolut. 1. POMPEI – Kota yang Dihancurkan dalam Pelukan Kenikmatan Bayangkan sebuah kota yang makmur, subur, dan indah. Pompei—berdiri megah di kaki Gunung Vesuvius, kota pelabuhan yang menjadi mutiara Italia Kuno. Tanahnya begitu subur hingga anggur dan zaitun tumbuh seperti janji kekayaan tak berujung. Namun di balik keindahan itu, Pompei menyimpan sisi kelam. Rumah-rumah bordil berdiri megah di hampir setiap sudut. Grafiti cabul memenuhi dinding, dan bahkan alat kelamin dipahat sebagai penunjuk arah. Di kota ini, seks dijual lebih murah dari segelas anggur. Pelacuran, homoseksualitas, bahkan pemerkosaan anak—bukan lagi aib, melainkan budaya. Dan pada 24 Agustus tahun 79 M, Tuhan seolah menarik garis batas… Dan pada 24 Agustus tahun 79 M, Tuhan seolah menarik garis batas… Langit menghitam. Gunung Vesuvius meletus… mengirimkan awan panas mematikan yang melahap kota itu hanya dalam hitungan jam. Sekitar 2.000 jiwa terkubur hidup-hidup dalam abu yang abadi. Pompei lenyap… sebagai simbol peradaban yang mabuk kenikmatan hingga lupa pada batas Ilahi. 2. ASHABUL RASS – Kaum Pemilik Sumur yang Terseret ke Neraka Di Jazirah Arab, di antara Yamamah dan Hadhramaut, hidup satu kaum yang dikenal sebagai Ashabul Rass—kaum pemilik sumur. Mereka hidup dari air, namun menyembah pohon. Di tepi sumur yang memberi mereka kehidupan… mereka menggantungkan sesembahan. Mereka menyembah pohon cemara, menganggapnya suci lebih dari Sang Pencipta. Allah mengirimkan seorang nabi—entah Syuaib atau nabi lain yang tak disebutkan namanya. Namun seperti kisah lama yang berulang, nabi itu dihina, risalahnya ditolak, dan ajakannya dianggap angin lalu. Lalu datanglah azab itu... Kekeringan. Air sumur menjadi busuk. Gempa menghancurkan tanah mereka. Dan akhirnya, tanah di sekitar sumur runtuh, menelan mereka seperti lubang neraka yang terbuka. Tak ada yang tersisa. Kaum ini tertelan oleh sumber kehidupan yang dulu mereka sombongkan. 3. SODOM – Kota yang Dibelah Langit Di lembah Sidim, dekat Laut Mati, Sodom berdiri megah. Airnya jernih, tanahnya subur, dan kekayaannya mengalir bak sungai madu. Namun yang mengalir di hati para penduduknya hanyalah penyimpangan. Mereka adalah kaum pertama di dunia yang melakukan homoseksualitas terang-terangan. Mereka rampok musafir, ejek utusan Tuhan, dan menjadikan dosa sebagai gaya hidup. Allah mengutus Nabi Luth, tapi dakwahnya hanya menjadi bahan tawa. Hingga langit menggelap… Malaikat datang menyamar sebagai pemuda tampan. Dan Sodom… menatap takdirnya dengan mata yang buta dosa. Maka Allah menurunkan azab tiga lapis: Hujan batu dari langit Gempa bumi yang mengguncang jiwa Suara mengguntur yang menembus dada Dan yang paling mengerikan… Sodom dibalikkan. Yang atas menjadi bawah. Yang bawah menjadi langit. Sebuah kota, dikubur dengan cara yang tidak manusiawi… tapi sangat Tuhan. 4. LEGETANG – Desa yang Dihapus dengan Satu Hantaman Tahun 1955, di dataran tinggi Dieng, berdiri Desa Legetang. Tanahnya subur, warganya makmur, dan hasil panennya melimpah. Namun kemewahan itu mengundang kehancuran yang tak terbayangkan. Setiap malam—judi, mabuk, seks bebas, lengger, bahkan anak dengan ibu kandungnya… Semua dosa dipentaskan tanpa malu. Tiba-tiba, hewan-hewan liar turun dari gunung. Tanda bahwa alam sudah gelisah. Mereka buat parit, mencoba menghindari bencana. Tapi manusia tak bisa menipu Tuhan. 17 April 1955, petir menyambar, hujan menggila, dan ledakan terdengar dari langit. Pagi harinya… Desa Legetang lenyap. Rata dengan tanah. Seolah gunung itu terbang, lalu dilemparkan langsung ke desa. 332 jiwa tewas. Hanya dua orang selamat. Ilmu geologi tidak bisa menjelaskan bagaimana longsor dari puncak yang jauh, bisa "melompat" ke desa. Tapi iman tahu jawabannya: Ini azab. Ini peringatan. Ini murka. 5. MADAIN SALEH – Kota yang Dihancurkan karena Membunuh Mukjizat Di barat laut Arab Saudi, di padang pasir yang sunyi, berdiri reruntuhan kota Madain Saleh. Dulu, kota ini megah—diukir dari gunung batu oleh kaum Tsamud. Mereka begitu ahli, kaya, dan... sombong. Allah mengirim Nabi Saleh dan memberi mereka mukjizat: Seekor unta betina ajaib yang keluar dari batu. Namun unta itu dibenci. Karena ia menjadi simbol kebenaran yang menampar hati mereka. Maka unta itu mereka bunuh. Dan saat itu... hitungan waktu untuk kehancuran dimulai. 3 hari…Lalu datang gempa, disusul suara yang memekakkan langit. Seluruh kaum Tsamud mati seketika. Kini, Madain Saleh menjadi kota batu yang sunyi—seolah beku dalam waktu, sebagai peringatan yang tak bisa dibantah. Ketika manusia menolak kebenaran, Ketika maksiat dianggap budaya, Ketika peringatan dianggap lelucon… Maka turunlah azab, tak lagi berupa kata, Tapi berupa tangan Tuhan yang mengguncang bumi. Lima kota ini… Bukan sekadar cerita… Tapi cermin bagi kita yang hidup hari ini. Karena jika kesombongan diulang… Maka sejarah bukan hanya akan terulang…

Pulau DI Australia INI MAYORITAS Dihuni Orang Jawa

“Jauh di tengah Samudra Hindia… terletak sekelompok pulau kecil yang nyaris tak dikenali dunia. Namanya Pulau Cocos… Tapi siapa sangka, di tanah yang tampak asing itu… ratusan orang keturunan Jawa hidup di sana. Menjaga budaya, berbahasa Melayu, dan tetap memeluk Islam… Di negeri yang bukan Indonesia, tapi bukan pula sepenuhnya Australia… Inilah kisah nyata tentang terasingnya akar, namun kuatnya identitas…”. Hanya setitik di peta, namun penuh cerita yang tak pernah benar-benar diceritakan. Sebuah kisah tentang perbudakan, ketahanan, dan warisan budaya yang tetap hidup… di tanah yang asing, namun telah menjadi rumah. “Pulau Cocos, atau Cocos (Keeling) Islands, adalah wilayah kecil milik Australia yang terletak 2.750 km dari Perth. Terdiri dari 27 pulau karang kecil, namun hanya dua yang berpenghuni: West Island dan Home Island. Cerita mereka dimulai lebih dari satu abad yang lalu. Sekitar tahun 1826, seorang pria Skotlandia bernama John Clunies-Ross datang dan mengklaim Pulau Cocos sebagai miliknya. Ia membangun sebuah kerajaan kecil pribadi dan butuh tenaga kerja murah untuk memelihara ladang kelapa dan memproduksi kopra. Maka dimulailah babak kelam itu: orang-orang Jawa, Melayu, dan Bugis dibawa dari Nusantara, khususnya dari Jawa, sebagai buruh kontrak—yang pada kenyataannya hanyalah bentuk lain dari perbudakan terselubung. Mereka diasingkan dari tanah leluhur mereka, bekerja tanpa upah yang layak, hidup dalam kontrol penuh keluarga Ross. Pulau itu bukan rumah… melainkan penjara yang tersembunyi dari dunia. Tapi dari keterasingan itu, mereka membangun komunitas, membentuk identitas, dan bertahan hidup dari generasi ke generasi.Namun di tengah keterasingan itu, mereka tetap berpegang pada satu hal yang tak pernah padam: Iman. Mayoritas orang Jawa di Pulau Cocos memeluk Islam. Mereka membangun masjid kecil di Home Island. Melantunkan azan lima waktu. Mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak. “Mereka masih memasak nasi kuning, opor ayam, dan ketupat saat lebaran. Mereka masih menikah dengan adat Jawa. Dan mereka masih berbicara dalam bahasa Melayu bercampur Jawa yang unik. Bahkan, kata ‘sepeda’ masih disebut ‘pit’, seperti di kampung halaman.” Di tempat yang hanya dihuni tak lebih dari 600 jiwa ini, dua keyakinan besar hidup berdampingan tanpa sekat—Islam Sunni dan Kristen. Di sini, perbedaan bukan alasan untuk menjauh. Tapi justru jembatan untuk saling memahami." Orang Melayu Cocos yang menetap di Home Island memeluk Islam Sunni, menjalankan tradisi-tradisi seperti halnya orang Jawa dan Melayu di Indonesia. Sementara di West Island, penduduk berdarah Eropa-Australia menganut Kristen, lengkap dengan kehidupan khas ala Australia—tenang, terbuka, dan bebas. Tapi di antara mereka… tak ada permusuhan. Yang ada hanya hidup berdampingan… dalam damai.” “Yang unik, adat-istiadat di pulau ini juga masih kental dengan nuansa Nusantara. Ada kain batik khas Cocos, yang tak dipakai sembarangan—hanya dikenakan saat ritual-ritual tertentu. Sebuah warisan budaya yang tetap dijaga rapi oleh generasi muda. “Para wanita di Home Island punya keterampilan turun-temurun: menjahit, menenun, membuat kerajinan tangan dan batik adat. Batik Cocos bukan untuk dijual bebas—ia sakral, hanya muncul dalam upacara adat. Tapi kini mulai ada warga muda yang mencoba membuat versi komersialnya untuk dijual ke wisatawan. Sebuah cara menjaga tradisi… sambil tetap bergerak maju.” Di tempat ini, agama dan budaya tak bersaing. Keduanya saling menguatkan, seperti akar dan tanah." Bayangkan sebuah dunia di mana anak-anak pergi ke sekolah dengan sandal, atau bahkan tanpa alas kaki… Di mana rumah-rumah tidak pernah dikunci, mobil ditinggalkan begitu saja tanpa rasa khawatir… Karena di Cocos, kepercayaan adalah budaya. Di pulau kecil yang dikepung samudra dari segala arah ini, tak ada pabrik, tak ada mal, tak ada kantor-kantor pencakar langit. Tidak ada bioskop. Tidak ada pusat perbelanjaan besar. Hanya klub kecil, kafe sederhana, dan pulau-pulau sunyi sebagai hiburan. Dulu, kelapa adalah segalanya. Dari situlah kata ‘Cocos’ berasal. Pulau ini sempat hidup dari kopra, yaitu daging kelapa kering yang diekspor ke berbagai negara. Tapi kini, jejak kejayaan kopra hanya tinggal kenangan. Mesin modern menggeser nilai tangan-tangan kasar yang dulu memanjat pohon kelapa setiap hari.” Sebagian warga beralih menjadi nelayan. Tapi perairan di sini bukanlah lautan besar yang melimpah ikan. Mereka hanya menangkap untuk kebutuhan sendiri, atau dijual dalam jumlah kecil di pasar lokal. Tak ada persaingan. Tak ada rebutan lahan tangkap. Hanya laut… dan waktu yang berjalan perlahan.” Sebagian warga bekerja di instansi pemerintah, di sekolah, atau di pusat layanan kesehatan. Ada juga yang membuka kafe kecil, penyewaan alat snorkeling, atau bahkan menjadi pemandu wisata. Meski wisatawan tak datang dalam ribuan, tapi keindahan alam Cocos tetap menjadi peluang yang… hidup.” Beberapa anak muda mulai mencoba jalur baru: pekerjaan digital jarak jauh. Dengan jaringan internet lokal yang makin stabil, Pulau Cocos kini bisa jadi tempat kerja virtual. Bekerja untuk dunia… sambil mendengar debur ombak dari jendela rumah.” Di satu sisi, warga memiliki kewarganegaraan Australia—namun di sisi lain, mereka merasa seperti orang asing di negeri sendiri. Bahasa Inggris adalah bahasa resmi, tapi di Home Island, bahasa Melayu dialek Cocos masih menjadi bahasa utama. Sistem pendidikan, layanan kesehatan, dan administrasi dikelola oleh pemerintah federal Australia, namun orang-orang Jawa di sana tetap mempertahankan identitas ganda: warga negara Australia yang berhati Jawa. Hidup di Pulau Cocos adalah hidup di antara dua dunia: modernitas Australia dan tradisi Jawa. Mereka punya paspor biru Australia, tapi jiwa mereka tetap merindukan tanah Jawa yang bahkan belum pernah mereka injak. “Kadang kami merasa tidak sepenuhnya diterima. Tapi kami tetap bangga menjadi orang Cocos. Kami juga orang Jawa.” “Jumlah pelajar di pulau ini hanya sekitar 90 anak, dengan sekolah utama yang tersebar di dua pulau. Mereka bisa menempuh pendidikan dari usia dini hingga kelas 10. Setelah itu? Mereka biasanya melanjutkan ke daratan Australia… atau kembali menjadi penjaga warisan budaya di pulau kecil ini.” “Kini, generasi muda Cocos banyak yang pergi ke Perth atau Darwin untuk studi. “Meski terpencil, Cocos tak ketinggalan zaman. Pulau ini punya jaringan internet dan telepon genggam sendiri. Tapi jangan harap ada tren belanja online. Barang-barang datang hanya sekali seminggu—saat pesawat pengangkut logistik tiba tiap hari Jumat.” “Cocos juga punya dokter tetap yang tinggal di pulau bagian selatan. Jika ada kondisi darurat di Home Island, pihak Polisi Federal Australia akan membawa pasien melalui jalur laut. Sumber energi berasal dari mesin diesel, tapi sebagian bangunan kini telah dilengkapi panel surya.” Sebagian mulai kehilangan bahasa leluhur… Tapi masih ada yang kembali saat Idul Fitri. Masih ada yang menangis saat mendengar tembang Jawa dari radio lawas…” Pulau Cocos adalah pengingat bahwa identitas bukan soal lokasi, tapi soal ingatan dan warisan. Orang-orang Jawa di sana adalah bukti hidup bahwa bahkan dalam pengasingan, akar budaya bisa tumbuh—mungkin lebih kuat daripada yang pernah kita duga. Di pulau kecil itu, di antara hamparan kelapa dan pasir putih, denyut Jawa tetap berdegup, membisikkan kisah tentang asal-usul, perjuangan, dan keberanian untuk tetap menjadi diri sendiri.

10 kayu termahal di dunia PERKILO CAPAI MILYARAN SALAH SATUNYA ITU DARI INDONESIA

“Kemewahan tidak selalu ditemukan di tambang emas… kadang ia tumbuh perlahan, tenang, dan tersembunyi di hutan-hutan tua. Inilah kisah tentang 10 jenis kayu termahal di dunia—bukan hanya karena kelangkaannya, tapi karena kisah, keindahan, dan kekuatan yang dibawanya. Setiap kayu di daftar ini… adalah warisan alam yang harganya bisa menyamai batu mulia.” 1. Dalbergia (Rosewood) – Brasil, India, Madagaskar Asal: Amerika Selatan (Brasil), Asia Selatan (India), Madagaskar Harga: USD 20.000 – 30.000 per m³ Kenapa mahal: Rosewood adalah simbol elegansi. Seratnya padat, indah, dan memiliki warna kemerahan eksotis dengan urat hitam alami. Kayu ini sangat langka karena banyak jenis Dalbergia masuk daftar CITES (terancam punah). Kegunaan: Digunakan untuk furnitur mewah, gitar kelas dunia (seperti Gibson, Taylor), lantai istana, dan interior kapal pesiar. 2. Ebony (Kayu Hitam) – Afrika, Sri Lanka, Indonesia (Sulawesi) Asal: Afrika Tengah (Gabon, Kamerun), Asia (Sri Lanka, Indonesia) Harga: USD 10.000 – 15.000 per m³ Kenapa mahal: Ebony adalah kayu sangat keras dan berwarna hitam legam pekat—langka dan sulit diolah. Tingkat kepadatannya membuatnya berat dan tahan lama. Motif: Umumnya polos, hitam pekat dengan kilap alami, namun beberapa jenis memiliki guratan abu gelap. Kegunaan: Digunakan untuk piano (tuts hitam), ukiran tradisional, gagang pedang, hingga patung kelas kolektor. 3. Agarwood (Gaharu) – Asia Tenggara (Indonesia, Vietnam, Laos) Asal: Indonesia (Kalimantan, Sumatra), Vietnam, Thailand Harga: USD 15.000 – 25.000 per kg (bukan m³!) Kenapa mahal: Kayu ini terbentuk karena infeksi jamur pada pohon Aquilaria, yang memproduksi resin wangi. Digunakan sejak ribuan tahun dalam ritual, parfum, dan obat. Aroma: Sangat khas, eksotis, hangat dan spiritual. Kegunaan: Diolah menjadi minyak wangi (oud), dupa mewah, artefak religius, dan koleksi langka. 4. Sandalwood (Cendana) – Indonesia,India, Australia, Timor Asal: Indonesia,India Selatan, Timor Timur, Australia Kayu Cendana berasal dari beberapa wilayah tropis, namun yang paling terkenal dan bernilai tinggi berasal dari: India (Santalum album) – Wilayah utama: Negara bagian Karnataka, Tamil Nadu, Kerala Paling terkenal dan paling mahal di dunia karena kadar minyak atsirinya yang tinggi. Fakta: India telah melindungi pohon ini secara ketat. Penebangan hanya bisa dilakukan oleh negara. 2. Indonesia (Santalum album) – Cendana Timor Wilayah utama: Pulau Timor, khususnya NTT (Nusa Tenggara Timur) Ciri khas: Aromanya kuat dan tahan lama, mirip dengan cendana India, namun populasinya sempat menurun akibat eksploitasi berlebihan di masa lalu. Status: Sedang dikembangkan kembali melalui program konservasi dan reboisasi. Australia (Santalum spicatum & Santalum album) Wilayah utama: Australia Barat dan Australia Utara Jenis: Cendana asli Australia (spicatum) dan juga hasil budidaya dari jenis India (album) Fakta: Australia kini menjadi eksportir terbesar cendana secara volume, berkat sistem budidaya modern. Harga: USD 8.000 – 12.000 per m³ Kenapa mahal: Wangi alaminya yang tahan puluhan tahun membuat cendana sangat berharga. Panen hanya bisa dilakukan setelah 20–30 tahun. Warna: Kuning keemasan dengan aroma yang menguar dari kayu padat. Kegunaan: Digunakan untuk parfum alami, ukiran, mala (tasbih Hindu-Buddha), dan kosmetik herbal. 5. Lignum Vitae – Karibia, Amerika Tengah Asal: Karibia, Amerika Tengah (Bahama, Jamaika) Harga: USD 9.000 – 13.000 per m³ Kenapa mahal: Salah satu kayunya paling keras dan paling berat di dunia. Sering digunakan di kapal karena tahan air dan tekanan. Warna: Coklat gelap kehijauan dengan serat padat dan berminyak. Kegunaan: Gear kapal uap, bantalan mesin industri, alat ukir, perabotan khusus antik. 6. Bocote – Meksiko, Amerika Tengah Asal: Meksiko, Nikaragua, Panama Harga: USD 5.000 – 8.000 per m³ Kenapa mahal: Corak kayu unik dan berpola seperti lukisan abstrak—serat berpola gelombang dan swirl alami. Motif: Seperti mata dan gelombang yang menari, dengan warna emas-coklat tua. Kegunaan: Meja mewah, gitar edisi terbatas, pistol grip custom, lantai eksklusif. 7. African Blackwood – Afrika Timur Asal: Tanzania, Mozambik, Kenya Harga: USD 10.000 – 11.000 per m³ Kenapa mahal: Sering disebut “Ebony Afrika”, sangat padat dan berwarna hitam pekat. Sulit ditebang karena tumbuh sangat lambat. Kegunaan: Instrumen musik kelas dunia seperti klarinet, obo, dan seruling profesional. 8. Cocobolo – Amerika Tengah Asal: Kosta Rika, Nikaragua, Honduras Harga: USD 7.000 – 9.000 per m³ Kenapa mahal: Warnanya luar biasa—campuran merah, oranye, ungu, dan coklat dalam satu potong kayu. Tahan air dan sangat kuat. Kegunaan: Meja eksklusif, pisau gagang custom, kotak perhiasan, jam tangan kayu edisi terbatas. 9. Koa – Hawaii Asal: Kepulauan Hawaii Harga: USD 5.000 – 7.000 per m³ Kenapa mahal: Hanya tumbuh di Hawaii. Dianggap kayu spiritual oleh penduduk asli. Pemanenan dibatasi oleh hukum konservasi. Motif: Bergelombang dengan kilauan seperti satin. Warna coklat keemasan. Kegunaan: Ukulele dan gitar eksklusif, furnitur lokal mewah, ornamen spiritual. 10. Bubinga – Afrika Barat Asal: Gabon, Kamerun, Pantai Gading Harga: USD 4.000 – 6.000 per m³ Kenapa mahal: Dijuluki “African Rosewood”, warnanya eksotis merah muda dengan serat kuat dan bergelombang. Dulu sangat dicari sebelum dibatasi ekspor. Kegunaan: Meja besar luxury, dashboard mobil mewah, mebel antik Eropa. “Di balik tiap serat kayu ini, tersembunyi waktu yang panjang, kondisi alam yang sempurna, dan cerita yang melampaui zaman… Subscribe sekarang dan temukan kisah-kisah paling eksotis dari hutan dunia. Karena setiap pohon… punya cerita.

POHON EMAS HIJAU ASLI INDONESIA DI BURU ARAB DAN DUNIA

Di balik rimbunnya hutan tropis, di bawah bayang-bayang pohon tua yang sunyi, tersembunyi sebuah keajaiban alam… Bukan emas, bukan berlian…Tapi sepotong kayu yang bisa lebih mahal dari keduanya. Inilah Gaharu—harta wangi dari hutan Indonesia."
Gaharu bukan sekadar kayu. Ia adalah reaksi pertahanan dari pohon Aquilaria, saat diserang oleh jamur. Saat pohon ini sakit, ia mengeluarkan resin wangi berwarna gelap. Dan dari luka itu…lahirlah kayu gaharu—sebuah aroma surgawi yang telah dikenal manusia sejak ribuan tahun lalu.” “Satu kilogram kayu gaharu bisa mencapai puluhan juta rupiah. Bahkan jenis terbaiknya—dikenal sebagai gaharu super—dihargai lebih dari USD 30.000 per kilogram. Tapi… kenapa bisa semahal itu? 1. Kelangkaan alami: Tidak semua pohon Aquilaria menghasilkan gaharu. Hanya sebagian kecil yang terinfeksi secara alami oleh jamur. 2. Proses panjang: Dibutuhkan belasan bahkan puluhan tahun agar resin bisa terbentuk cukup dalam kayu. 3. Permintaan tinggi: Di Timur Tengah, India, Cina, dan Jepang, gaharu digunakan untuk parfum kelas atas, pengobatan herbal, dan ritual keagamaan. Kayu gaharu (agarwood) dan minyaknya (oud/oudh) diekspor ke berbagai negara di dunia, terutama ke kawasan dengan budaya dan tradisi keagamaan yang kuat serta industri parfum mewah. Berikut adalah negara-negara utama tujuan ekspor gaharu: 1. Arab Saudi Konsumen terbesar di dunia. Digunakan untuk ritual keagamaan, parfum mewah, dan budaya sosial. Nabi Muhammad ﷺ menyukai aroma gaharu. Dalam banyak hadits, gaharu disebut sebagai kayu wewangian yang disukai Rasulullah. Di Arab, gaharu dikenal sebagai "oudh", dan dibakar sebagai bakhour (dupa) di rumah, masjid, dan acara penting.bahkan di secutkan dalam satu hadits "Wewangian terbaik adalah minyak misik dan oudh." – (HR. Muslim) Di Arab Saudi, parfum oud bukan hanya harum, tapi simbol kekayaan. Oud asli bisa mencapai USD 500 – 1000 per botol kecil. Orang kaya menyemprotkan oud ke baju, sorban, sajadah, bahkan mobil. Digunakan saat salat Jumat, Ramadhan, Haji, dan pernikahan. Gaharu dibakar di masjid-masjid megah seperti Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Gaharu Kalimantan, Papua, dan Sumatra punya aroma khas yang sangat dicari oleh kolektor dan bangsawan Arab. 2. Uni Emirat Arab (Dubai, Abu Dhabi) Pusat perdagangan oud dunia. Banyak rumah mode parfum ternama berbasis di Dubai. 3. Qatar, Kuwait, Oman, Bahrain Pasar elite Timur Tengah. Oud menjadi simbol status dan kemewahan. 4. India dan Nepal Digunakan dalam ritual Hindu, dupa wangi, serta pengobatan Ayurveda. 5. Tiongkok dan Hong Kong Untuk pengobatan tradisional, dupa, dan koleksi spiritual. Gaharu juga dianggap sebagai fengshui wood. Dalam upacara Kōdō (ritual mencium kayu wangi)—seni menghargai aroma gaharu. 7. Korea Selatan & Taiwan Untuk dupa meditasi dan pengobatan herbal. 8. Prancis, Swiss, Italia Digunakan dalam parfum niche dan eksklusif seperti Dior, Armani, Tom Ford, dan Maison Francis Kurkdjian. Kayu gaharu di olah menjadi Minyak Oud (Oudh): Minyak yang disuling dari gaharu ini adalah salah satu bahan parfum termahal di dunia. Digunakan oleh merek-merek seperti Dior, Tom Ford, dan Armani Privé. 🔹 Dupa Wangi: Gaharu dibakar dalam ritual keagamaan umat Hindu, Buddha, Tao, dan Islam—sebagai sarana pembersihan jiwa dan doa. 🔹 Tasbih dan perhiasan: Gaharu kelas atas diukir menjadi tasbih wangi, gelang spiritual, atau amulet, dipercaya membawa ketenangan dan perlindungan. Pengobatan tradisional: Digunakan dalam pengobatan Cina dan Ayurveda untuk menenangkan saraf, melawan racun, hingga pengobatan kanker. Di Mana Gaharu Ditemukan di Indonesia? “Indonesia adalah salah satu penghasil gaharu terbesar di dunia. Berikut ini daerah penghasil gaharu: 1. Kalimantan (Kaltim, Kalteng, Kalbar) Hutan-hutan lebat Kalimantan adalah rumah alami Aquilaria malaccensis—jenis gaharu terbaik. Dikenal karena warna resin hitam dan aroma khasnya. 2. Sumatra (Aceh, Riau, Jambi, Lampung) 3. Papua dan Maluku Gaharu dari Papua—terutama di Pegunungan Arfak—memiliki kualitas unik dan sering diburu pedagang internasional. Maluku juga menyimpan jenis gaharu eksotik yang kini mulai dibudidayakan. 4. Nusa Tenggara Timur (NTT) Wilayah kering ini juga jadi tempat budidaya gaharu jenis Aquilaria filaria. Sayangnya, harga tinggi membawa ancaman... Gaharu diburu liar, banyak pohon ditebang tanpa pengawasan. Perdagangan ilegal gaharu menjadi masalah besar di Asia Tenggara. Bahkan beberapa jenis pohonnya kini masuk daftar spesies terancam punah.” Tapi harapan belum padam. Di banyak tempat, masyarakat mulai membudidayakan pohon Aquilaria secara berkelanjutan. Dengan metode infeksi buatan, petani bisa menanam, merawat, dan menghasilkan gaharu tanpa merusak hutan. Budidaya: Semakin banyak petani menanam Aquilaria dan menghasilkan resin melalui teknik inokulasi buatan