Kamis, 10 Juli 2025
Pulau DI Australia INI MAYORITAS Dihuni Orang Jawa
“Jauh di tengah Samudra Hindia… terletak sekelompok pulau kecil yang nyaris tak dikenali dunia. Namanya Pulau Cocos…
Tapi siapa sangka, di tanah yang tampak asing itu…
ratusan orang keturunan Jawa hidup di sana. Menjaga budaya, berbahasa Melayu, dan tetap memeluk Islam…
Di negeri yang bukan Indonesia, tapi bukan pula sepenuhnya Australia…
Inilah kisah nyata tentang terasingnya akar, namun kuatnya identitas…”. Hanya setitik di peta, namun penuh cerita yang tak pernah benar-benar diceritakan. Sebuah kisah tentang perbudakan, ketahanan, dan warisan budaya yang tetap hidup… di tanah yang asing, namun telah menjadi rumah.
“Pulau Cocos, atau Cocos (Keeling) Islands, adalah wilayah kecil milik Australia yang terletak 2.750 km dari Perth. Terdiri dari 27 pulau karang kecil, namun hanya dua yang berpenghuni: West Island dan Home Island.
Cerita mereka dimulai lebih dari satu abad yang lalu. Sekitar tahun 1826, seorang pria Skotlandia bernama John Clunies-Ross datang dan mengklaim Pulau Cocos sebagai miliknya. Ia membangun sebuah kerajaan kecil pribadi dan butuh tenaga kerja murah untuk memelihara ladang kelapa dan memproduksi kopra.
Maka dimulailah babak kelam itu: orang-orang Jawa, Melayu, dan Bugis dibawa dari Nusantara, khususnya dari Jawa, sebagai buruh kontrak—yang pada kenyataannya hanyalah bentuk lain dari perbudakan terselubung.
Mereka diasingkan dari tanah leluhur mereka, bekerja tanpa upah yang layak, hidup dalam kontrol penuh keluarga Ross. Pulau itu bukan rumah… melainkan penjara yang tersembunyi dari dunia.
Tapi dari keterasingan itu, mereka membangun komunitas, membentuk identitas, dan bertahan hidup dari generasi ke generasi.Namun di tengah keterasingan itu, mereka tetap berpegang pada satu hal yang tak pernah padam:
Iman.
Mayoritas orang Jawa di Pulau Cocos memeluk Islam.
Mereka membangun masjid kecil di Home Island.
Melantunkan azan lima waktu.
Mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak.
“Mereka masih memasak nasi kuning, opor ayam, dan ketupat saat lebaran.
Mereka masih menikah dengan adat Jawa.
Dan mereka masih berbicara dalam bahasa Melayu bercampur Jawa yang unik.
Bahkan, kata ‘sepeda’ masih disebut ‘pit’, seperti di kampung halaman.”
Di tempat yang hanya dihuni tak lebih dari 600 jiwa ini, dua keyakinan besar hidup berdampingan tanpa sekat—Islam Sunni dan Kristen.
Di sini, perbedaan bukan alasan untuk menjauh. Tapi justru jembatan untuk saling memahami."
Orang Melayu Cocos yang menetap di Home Island memeluk Islam Sunni, menjalankan tradisi-tradisi seperti halnya orang Jawa dan Melayu di Indonesia.
Sementara di West Island, penduduk berdarah Eropa-Australia menganut Kristen, lengkap dengan kehidupan khas ala Australia—tenang, terbuka, dan bebas.
Tapi di antara mereka… tak ada permusuhan.
Yang ada hanya hidup berdampingan… dalam damai.”
“Yang unik, adat-istiadat di pulau ini juga masih kental dengan nuansa Nusantara.
Ada kain batik khas Cocos, yang tak dipakai sembarangan—hanya dikenakan saat ritual-ritual tertentu. Sebuah warisan budaya yang tetap dijaga rapi oleh generasi muda.
“Para wanita di Home Island punya keterampilan turun-temurun: menjahit, menenun, membuat kerajinan tangan dan batik adat.
Batik Cocos bukan untuk dijual bebas—ia sakral, hanya muncul dalam upacara adat.
Tapi kini mulai ada warga muda yang mencoba membuat versi komersialnya untuk dijual ke wisatawan.
Sebuah cara menjaga tradisi… sambil tetap bergerak maju.”
Di tempat ini, agama dan budaya tak bersaing. Keduanya saling menguatkan, seperti akar dan tanah."
Bayangkan sebuah dunia di mana anak-anak pergi ke sekolah dengan sandal, atau bahkan tanpa alas kaki…
Di mana rumah-rumah tidak pernah dikunci, mobil ditinggalkan begitu saja tanpa rasa khawatir…
Karena di Cocos, kepercayaan adalah budaya.
Di pulau kecil yang dikepung samudra dari segala arah ini, tak ada pabrik, tak ada mal, tak ada kantor-kantor pencakar langit. Tidak ada bioskop. Tidak ada pusat perbelanjaan besar. Hanya klub kecil, kafe sederhana, dan pulau-pulau sunyi sebagai hiburan.
Dulu, kelapa adalah segalanya.
Dari situlah kata ‘Cocos’ berasal. Pulau ini sempat hidup dari kopra, yaitu daging kelapa kering yang diekspor ke berbagai negara.
Tapi kini, jejak kejayaan kopra hanya tinggal kenangan.
Mesin modern menggeser nilai tangan-tangan kasar yang dulu memanjat pohon kelapa setiap hari.”
Sebagian warga beralih menjadi nelayan.
Tapi perairan di sini bukanlah lautan besar yang melimpah ikan. Mereka hanya menangkap untuk kebutuhan sendiri, atau dijual dalam jumlah kecil di pasar lokal.
Tak ada persaingan. Tak ada rebutan lahan tangkap.
Hanya laut… dan waktu yang berjalan perlahan.”
Sebagian warga bekerja di instansi pemerintah, di sekolah, atau di pusat layanan kesehatan.
Ada juga yang membuka kafe kecil, penyewaan alat snorkeling, atau bahkan menjadi pemandu wisata.
Meski wisatawan tak datang dalam ribuan, tapi keindahan alam Cocos tetap menjadi peluang yang… hidup.” Beberapa anak muda mulai mencoba jalur baru: pekerjaan digital jarak jauh.
Dengan jaringan internet lokal yang makin stabil, Pulau Cocos kini bisa jadi tempat kerja virtual.
Bekerja untuk dunia… sambil mendengar debur ombak dari jendela rumah.”
Di satu sisi, warga memiliki kewarganegaraan Australia—namun di sisi lain, mereka merasa seperti orang asing di negeri sendiri. Bahasa Inggris adalah bahasa resmi, tapi di Home Island, bahasa Melayu dialek Cocos masih menjadi bahasa utama.
Sistem pendidikan, layanan kesehatan, dan administrasi dikelola oleh pemerintah federal Australia, namun orang-orang Jawa di sana tetap mempertahankan identitas ganda: warga negara Australia yang berhati Jawa.
Hidup di Pulau Cocos adalah hidup di antara dua dunia: modernitas Australia dan tradisi Jawa. Mereka punya paspor biru Australia, tapi jiwa mereka tetap merindukan tanah Jawa yang bahkan belum pernah mereka injak. “Kadang kami merasa tidak sepenuhnya diterima. Tapi kami tetap bangga menjadi orang Cocos. Kami juga orang Jawa.” “Jumlah pelajar di pulau ini hanya sekitar 90 anak, dengan sekolah utama yang tersebar di dua pulau.
Mereka bisa menempuh pendidikan dari usia dini hingga kelas 10.
Setelah itu? Mereka biasanya melanjutkan ke daratan Australia… atau kembali menjadi penjaga warisan budaya di pulau kecil ini.” “Kini, generasi muda Cocos banyak yang pergi ke Perth atau Darwin untuk studi.
“Meski terpencil, Cocos tak ketinggalan zaman.
Pulau ini punya jaringan internet dan telepon genggam sendiri.
Tapi jangan harap ada tren belanja online.
Barang-barang datang hanya sekali seminggu—saat pesawat pengangkut logistik tiba tiap hari Jumat.”
“Cocos juga punya dokter tetap yang tinggal di pulau bagian selatan.
Jika ada kondisi darurat di Home Island, pihak Polisi Federal Australia akan membawa pasien melalui jalur laut.
Sumber energi berasal dari mesin diesel, tapi sebagian bangunan kini telah dilengkapi panel surya.”
Sebagian mulai kehilangan bahasa leluhur…
Tapi masih ada yang kembali saat Idul Fitri. Masih ada yang menangis saat mendengar tembang Jawa dari radio lawas…”
Pulau Cocos adalah pengingat bahwa identitas bukan soal lokasi, tapi soal ingatan dan warisan. Orang-orang Jawa di sana adalah bukti hidup bahwa bahkan dalam pengasingan, akar budaya bisa tumbuh—mungkin lebih kuat daripada yang pernah kita duga.
Di pulau kecil itu, di antara hamparan kelapa dan pasir putih, denyut Jawa tetap berdegup, membisikkan kisah tentang asal-usul, perjuangan, dan keberanian untuk tetap menjadi diri sendiri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar